Thursday, April 19, 2018
Mengenal Jenis Sapi Limpo dan Simpo, Apa Ciri-cirinya?
Ciri-ciri Sapi Hasil Persilangan, Sapi Limousin - PO (Limpo) dan Simental - PO (Simpo)
Sekilas Sapi Limousin. Sapi Limousin mempunyai ciri berwarna hitam bervariasi dengan warna merah bata dan putih, terdapat warna putih pada moncong kepalanya, tubuh berukuran besar dan mempunyai tingkat produksi yang baik. Merupakan sapi bangsa Bos taurus yang dikembangkan pertama kali di Prancis. Sapi ini merupakan tipe sapi pedaging. Secara genetik, sapi limousin adalah sapi potong yang berasal dari wilayah beriklim dingin, bertipe besar, mempunyai volume rumen yang besar, mampu menambah konsumsi lebih tinggi di luar kebutuhan yang sebenarnya, serta memiliki metabolisme yang cepat sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur. Sapi limousin murni sulit ditemukan di Indonesia karena telah mengalami persilangan dengan sapi lokal.
Kebanyakan sapi limousin yang ada di Indonesia adalah limousin cross yang telah disilangkan dengan sapi lokal. Hadi dan Ilham (2002) menambahkanbahwa salah satu jenis sapi impor yang didatangkan ke Indonesia ialah sapi Limousin, yang memiliki keunggulan dibanding sapi lokal yaitu pertambahan bobot badan harian (PBBH) berkisar antara 0,80-1,60 kg/hari, konversi pakan tinggi dan komposisi karkas tinggi dengan komponen tulang lebih rendah.
Sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi ongole merupakan keturunan sapi zebu dari India yang mulai diternakan secara murni di pulau Sumba, sehingga dikenal dengan nama sapi “Sumba” ongole. Ciri-ciri sapi ongole antara lain berpunuk besar, memiliki lipatan kulit di bawah leher dan perut, telinga panjang dan menggantung, kepala relatif pendek dengan posisi melengkung, mata besar menunjukkan ketenangan, serta bulunya berwarna putih.
Hasil persilangan sapi ongole dengan sapi lokal Indonesia (sapi Jawa) menghasilkan sapi yang mirip dengan sapi ongole dan dikenal dengan nama sapi PO (peranakan ongole). Sapi PO murni sudah sulit ditemukan, karena telah banyak disilangkan dengan sapi brahman. Ukuran tubuh sapi PO lebih kecil dibandingkan dengan sapi ongole. Punuk dan gelambir juga kelihatan lebih kecil atau sangat sedikit. Warna bulunya bervariasi, tetapi kebanyakan berwarna putih atau putih keabu-abuan. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mampu beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan, dan cepat bereproduksi.
Tinggi sapi ongole jantan berkisar 150 cm dengan berat badan mencapai 600 Kg. Sementara itu, sapi betina memiliki tinggi badan berkisar 135 cm dan berat badan 450 Kg. Pertambahan bobot badan sapi ongole dapat mencapai 0,9 Kg per hari dengan kualitas karkas mencapai 45 – 58%. Rasio daging dengan tulangnya adalah 1 : 423, sapi ongole termasuk lambat untuk mencapai dewasa, yaitu sekitar umur 4 – 5 tahun. Untuk sapi PO, bobot badan rataan sekitar 200 – 350 kg dengan pertambahan bobot badan 0,6 – 0,8 Kg per hari jika dipelihara dengan baik.
Pada sapi PO, warna bulu badan putih abu-abu baru muncul ketika lepas sapih dan menjadi semakin besar kemungkinan munculnya pada saat umur yearling. Cirinya berwarna putih dengan warna hitam di beberapa bagian tubuh, bergelambir dan berpunuk, dan daya adaptasinya baik. Jenis ini telah disilangkan dengan sapi Madura, keturunannya disebut Peranakan Ongole (PO) cirinya sama dengan sapi Ongole tetapi kemampuan produksinya lebih rendah.
Sapi Limpo (Limousin Peranakan Ongole)
Sapi Limpo (Limousin PO)
Persilangan sapi limousin dengan sapi ongole dikenal dengan nama sapi limousin ongole (limpo). Sapi limpo memiliki ciri tidak berpunuk dan tidak bergelambir, serta warna bulunya hanya cokelat tua kehitaman dan cokelat muda.
Pada sapi LIMPO (Limousin cross dengan PO), variasi warna bulu badannya hanya coklat tua dan coklat putih. Pada sapi LIMPO, warna bulu badan yang dominan dari lahir sampai yearling adalah coklat tua. Warna coklat putih yang sering muncul saat lahir, menjadi lebih sering muncul pada saat sapi mencapai umur yearling. Dalam jumlah kecil, ada sapi LIMPO yang saat lahir mempunyai warna bulu badan putih (seperti PO), tetapi semua nya akan berubah menjadi coklat putih setelah sapi mencapai umur yearling.
Terjadinya variasi dan perubahan terhadap warna bulu badan sapi silangan ini, menjadi pertimbangan penting dalam ikut menentukan sebaiknya sapi silangan yang mana, SIMPO atau LIMPO, yang cocok dikembangkan di daerah DR (dataran rendah) atau DT (dataran tinggi), karena Gebremedhin (1984) dan Robertshaw (1984) menyatakan bahwa warna bulu sapi sangat berpengaruh pada mekanisme pengaturan temperatur tubuh sapi hubungannya dengan pengaruh panas lingkungan ; sapi yang bulunya cenderung ke arah warna gelap, lebih cocok dikembangkan di daerah berintensitas sinar matahari lebih rendah.
Sapi Limousin Peranakan Ongole (LIMPO) merupakan sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Limousin dengan induk sapi PO, kebanyakan sapi-sapi ini merupakan hasil perkawinan IB, sapi LIMPO sebagai turunan sapi tipe besar sehingga secara genetic mempunyai laju pertumbuhan yang lebih besar dan lebih cepat dibanding sapi PO (Sarwono dan Arianto, 2003). Hastuti (2007) menyatakan bahwa karakteristik eksterior sapi LIMPO adalah warna sekitar mata bervariasi coklat sampai hitam, moncong warna hitam dengan sebagian kecil berwarna merah.
Seperti sudah diketahui bahwa Sapi Limpo dan Simpo adalah singkatan dari Simmental-PO dan Limousin-PO, keduanya merupakan sapi hasil kawin silang (crossbreeding) antara sapi PO dengan Simmental ataupun Limousin. Sapi-sapi ini belakangan sering kita temui karena sangat disukai peternak. Peternak lebih menyukai sapi jenis ini dibanding sapi lokal (sapi PO) karena berat lahir yang lebih besar, pertumbuhan lebih cepat, adaptasi baik pada lingkungan serta pakan yang sederhana, ukuran tubuh dewasa lebih besar dan penampilan yang eksotik.
Alasan ini mengakibatkan nilai jual yang lebih tinggi, pendapatan peternak lebih besar, serta dapat menjadi kebanggaan peternak. Pada dasarnya sapi hasil persilangan ini (Simpo dan Limpo) diperuntukkan sebagai sapi final stock (sapi yang dipersiapkan untuk langsung dipotong). Namun, pemanfaatan sapi-sapi ini sebagai indukan menyebabkan beberapa fenomena yang disadari atau tidak, justru merugikan peternak. Selain juga menyebabkan adanya ancaman kepunahan bangsa sapi lokal.
Kinerja dan Anomali Reproduksi Sapi Betina Crossbreeding
Aplikasi IB menggunakan bibit Bos taurus (Simmental dan Limousin) pada indukan sapi jenis Simpo atau Limpo mengakibatkan penurunan kinerja reproduksi, antara lain semakin menurunnya angka konsepsi (conception rate = CR) dan semakin meningkatnya jumlah inseminasi per kebuntingan (services per conception = S/C) Pengamatan Putro (2008) pada kelompok sapi PO dan silangan akseptor IB di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan hal tersebut (Tabel 1).
Tabel 1. Kinerja reproduksi sapi PO dan silangan PO-Simmental akseptor IB
Kinerja Reproduksi PO F1 F2 F3 F4
Angka konsepsi (CR) 80% 68% 60% 39% 34%
Inseminasi per konsepsi (S/C) 1,20 1,90 2,30 3,40 3,50
Endometritis 8% 17% 22% 31% 28%
Repeat breeding (kawin berulang) 28% 38% 47% 62% 68%
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa angka konsepsi atau kemungkinan terjadinya kebuntingan sapi Simpo jika dikawinkan dengan bibit Simmental semakin menurun dan lebih rendah dibanding sapi lokal (sapi PO). Begitu juga kemungkinan keberhasilan IB {Inseminasi per konsepsi (S/C)} pada Simpo keturunan keempat mencapai angka kemungkinan 1 kali keberhasilan setelah lebih dari 3 kali IB.
Pada peternakan sapi rakyat, pemeliharaan tradisional dan pakan yang kurang memadai dari segi kualitas maupun kuantitasnya agaknya merupakan penyebab utama menurunnya kinerja reproduksi ini. Disamping itu, masalah pakan sangat mempengaruhi skor kondisi tubuh (SKT) yang umumnya lebih rendah dari optimum bagi proses reproduksi (3,0-3,5, dari skor 1,0-5,0). Rerata SKT sapi silangan yang relatif rendah ini sangat berpengaruh pada kinerja reproduksi. Penurunan kinerja reproduksi ini oleh Diwyanto (2002) diduga sebagai akibat adanya pengaruh interaksi lingkungan genetik, di samping kemungkinan telah banyak terjadi inbreeding akibat persilangan yang tidak terencana dan tidak tercatat. Dari pengamatan pedet-pedet hasil IB, perkawinan silang akan banyak memunculkan sifat-sifat gen resesif, antara lain berbentuk kematian pedet dalam kandungan, lahir mati (stillbirth), kasus-kasus teratologi seperti tidak mempunyai lubang anus.
Pengamatan Putro (2008), semakin tinggi darah Bos taurus akan membuat sapi semakin rentan terhadap investasi cacing hati (fasciolasis) dan cacing porang (paramphistomiasis). Keadaan ini sangat mengurangi efisiensi pakan dan akibatnya jelas kondisi sapi yang terlalu kurus atau mempunyai SKT rendah (dibawah 2,0) serta berakibat dengan tumbulnya infertilitas metabolik. Anomali reproduksi sangat berkaitan erat dengan rendahnya SKT dan infertilitas metabolik, terutama berbentuk hipofungsi ovaria (ovarian quiscence), sista folikel (anovulatory follicle), ovulasi tertunda (delayed ovulation) dan korpus luteum persisten (persistency of corpus luteum) dan endometritis subklinis (subclinical endometritis).
Ovulasi Tertunda (delayed ovulasi) atau birahi panjang
Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah ovulasi tertunda (delayed ovulasi). Ovulasi tertunda (delayed ovulation), merupakan akibat defisiensi LH lebih ringan lagi. Ciri-ciri sapi yang mengalami ovulasi tertunda biasanya memiliki waktu birahi yang lebih panjang. Normalnya sapi PO memilikiKondisi ini lebih sering dijumpai pada sapi silangan dengan Bos taurus, semakin meningkat dengan semakin tingginya angka F.
Penanganan Anomali Reproduksi Sapi Crossbreeding
Berdasarkan temuan mengenai status reproduksi sapi crossing sapi lokal X Bos taurus (Simmental dan Limousin) dengan segala permasalahannya saran untuk perbaikan efisiensi reproduksinya sebagai berikut:
1. Breeding policy untuk sapi potong perlu segera diimplementasikan, seperti ditetapkan dalam crossbreeding darah Bos taurus-nya jangan melebihi 75% (maksimum F2) setelah itu disilangkan balik (backcrossing), untuk meminimumkan kasus anomali reproduksi.
2. Pakan yang mencukupi kualitas dan kuantitasnya, untuk mempertahankan SKT optimum untuk reproduksi (3,0-3,5), di samping pemberian obat cacing berspektrum luas untuk mengatasi cacing hati (Fasciolasis) dan cacing porang (Paramphistomiasis), paling tidak 2 kali setahun merupakan kunci bagi penanggulangan reproduksi klinis sapi crossing sapi lokal x Bos taurus.
3. Manajemen peternakan yang keliru merupakan penyebab rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi silangan, utamanya adalah defisiensi pakan, sistem perkandangan dan pengamatan birahi. Untuk itu perlu peningkatan manajemen peternakan, perbaikan pakan dan kesehatan hewan.
4. Penanganan infertilitas metabolik dan nutrisi, dengan perbaikan pakan dan perbaikan skor kondisi tubuh (Putro, 2009)
Inseminasi buatan memungkinkan program crossbreeding antara sapi betina lokal dan semen beku pejantan Bos taurus (Simmental dan Limousin). Keadaan ini menyebabkan jumlah sapi silangan F1, F2, F3 dan F4 semakin banyak dijumpai, serta semakin sulitnya ditemui sapi PO di pulau Jawa. Fakta menunjukkan bahwa terjadi penurunan kinerja reproduksi dan peningkatan anomali reproduksi pada sapi-sapi indukan tersebut. Kinerja reproduksi dan anomali reproduksi pada sapi indukan silangan dapat diperbaiki dengan peningkatan manajemen peternakan, perbaikan pakan dan kesehatan hewan.
Sumber:
Putro, Prabowo Purwono Putro. 2009. Dampak Crossbreeding Terhadap Reproduksi Induk Turunannya: Hasil Studi Klinis. Disampaikan pada Lokakarya Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia: Aplikasi dan Implikasinya terhadap Perkembangan Ternak Sapi di Indonesia, Lustrum VIII, Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta 8 Agustus 2009.
Potensi perkembangan Sapi Potong
Sapi merupakan penghasil daging utama di Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging Nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi daging sapi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 mencapai 4,1 kg/ kapita/tahun meningkat menjadi 5,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2007. Namun peningkatan konsumsi daging ini tidak diimbangi dengan peningkatan populasi ternak (ketidak seimbangan antara supply dan demand), sehingga diseimbangkan dengan impor daging sapi setiap tahun yang terus meningkat sekitar 360 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 650 ribu ton pada tahun 2008 (Luthan, 2009).
Grafik Pertumbuhan Populasi Sapi Potong,kambing dan kerbau di Indonesia pada 5 tahun terakhir,
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan
Dari table pertambahan populasi ternkan sapi potong, kambing dan juga kerbau dapat dilihat betapa rendahnya populasi ternka sapi potong jika dibandingkan dengan jumlah populasi masyarakat Negara Indonesia, tentunya tidak memenuhi konsumsi daging perkapita pertahunnya.
Dapat juga dilihat grafik dibawah ini konsumsi daging (daging sapi, daging ayam ras/broiler, daging ayam kampung) di Indonesia perkapita selama 5 tahun terakhir;
Sumber : National Sosio-Economic Survey, 2007-2013
Dari tabel konsumsi daging perkapita dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat perbandingan yang sangat jauh konsumsi daging ayam ras/broiler dengan daging sapi, dalam 3 tahun terakhir konsumsi perkapita daging sapi jjuga mengalami penurunan padahal jika dilihat dari kebijakan pemerintah kita telah melakukan ekspor daging sapi dari Australia untuk memenuhi konsumsi daging kenyataannya sangat berbeda dengan apa yang kita dapatkan dilapangan.
Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada sapi potong impor, Depertemen Pertanian kembali mencanangkan program swasembada daging pada tahun 2014 dengan melakukan kajian mendalam melalui program ”Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi ( P2SDS )”. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain revitalisasi program pembibitan dengan pendistribusian bibit sapi potong ke berbagai propinsi potensial untuk dikembangkan secara intensif. Idealnya peningkatan populasi sapi setidaknya mencapai 7 persen per tahun (Dirjen Peternakan, 2009).
Pada umumnya sapi potong yang dipelihara peternak di Negara kita adalah sapi Lokal, sapi Bali, Simental, Peranakan Ongole, Limousine, Brahman, Angus dan hasil persilangan antara Brahman dan Angus yang dikenal dengan nama Brangus.
Kondisi lahan yang kurang subur merupakan kendala utama kurang tersedianya pakan hijauan. Keringnya lahan pertanian di suatu wilayah menyebabkan tidak semua jenis tanaman hijauan dapat tumbuh subur. Sistem pertaniannya sangat bergantung pada daur iklim khususnya curah hujan. Oleh karena lahan pertanian berupa lahan kering maka di samping bercocok tanam sebagai kegiatan utama, untuk meningkatkan pendapatan petani juga memelihara ternak (Abdurrahman et al., 1997). Pengembangan usaha ternak sapi potong rakyat di suatu daerah dilakukan dengan memanfaatkan limbah pertanian mengingat penyediaan rumput dan hijauan pakan lainnya sangat terbatas. Limbah pertanian yang berasal dari limbah tanaman pangan yang memiliki potensi untuk pakan adalah jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, daun ubi jalar, daun singkong serta limbah pertanian lainnya yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pola pertanian tanaman pangan di suatu wilayah (Febrina dan Liana 2008).
Persilangan bangsa sapi Bos indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi Limousin) bertujuan untuk menghasilkan sapi potong yang memiliki reproduksi dan pertumbuhan yang bagus. Pemeliharaan sapi Persilangan Limousin lebih disukai oleh peternak karena memiliki tubuh yang lebih besar serta harga jual yang lebih tinggi dari sapi lokal.
Sapi Bos taurus (Limousin) mempunyai sifat reproduksi yang tinggi, ukuran tubuh besar dengan J. Ternak Tropika Vol. 12, No.2: 76-80, 2011 75 kecepatan pertumbuhan sedang sampai tinggi, sedangkan bangsa sapi Bos indicus (PO) mempunyai sifat yang kurang baik dalam hal reproduksi dan kecepatan pertumbuhannya, tetapi sifat menyusui terhadap anaknya (mothering ability) sangat bagus. Dari kelebihankelebihan yang dimiliki oleh kedua bangsa tersebut diharapkan mampu terekspresikan pada hasil silangannya. Persilangan yang memanfaatkan heterosis hanya dapat meningkatkan karakteristik produksi, tetapi tidak reproduksinya.. Hal itu terlihat dari jarak beranak yang mencapai 20 bulan, yangterkait erat dengan tingginya anestrus pasca beranak serta tingginya kawin berulang. (Astuti 2004). Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ternak dipengaruhi oleh lima hal yaitu . sngka kebuntingan (conception rate); jarak antar kelahiran (calving interval); jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service periode); angka kawin per kebuntingan (service per conception); angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).
Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas reproduksi dengan cara persilangan bangsa sapi Bos Indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi Limousin) sehingga impor sapi dapat dikurangi. Penampilan reproduksi di peternakan rakyat secara umum masih tergolong rendah, sehingga perlu adanya evaluasi reproduksi sapi potong pada paritas berbeda.
Paritas adalah tahapan seekor induk ternak melahirkan anak. Paritas pertama adalah ternak betina yang telah melahirkan anak satu kali atau pertama. Demikian juga untuk kelahirankelahiran yang akan datang disebut paritas kedua dan seterusnya (Hafez, 2000). Daya reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi terutama lamakehidupan, dimana lama kehidupan produktif sapi potong lebih lama bila dibandingkan dengan sapi perah yaitu 10 sampai 12 tahun dengan produksi 6 sampai 8 anak. Faktor ini sangat penting bagi peternakan dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak, mempunyai dampak ekonomis yang sangat penting (Toelihere, 1985).
Peningkatan produktivitas sapi potong melalui program persilangan (crossbreeding) antara sapi Limousin atau Simmental dengan sapi Peranakan Ongole telah lama dilakukan melalui sistem perkawinan inseminasi buatan (IB). Menurut Hardjosubroto (1994), tujuan utama dari persilangan adalah menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan.
Program inseminasi buatan (IB) di Indonesia telah menghasilkan beberapa sapi potong silangan. Sapi SIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi peranakan ongole (PO) dan LIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Limousin dengan sapi PO, merupakan sapi silangan yang banyak disukai dan dipelihara oleh peternak rakyat. Simmental atau Limousin adalah sapi dari bangsa Bos Taaurus yang berasal dari daerah sedang (temperate zone), terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang dingin dan tatalaksana pemeliharaan yang intensif (ASTUTI et al., 2002), serta termasuk sapi tipe besar sehingga secara genetik mempunyai laju pertumbuhan yang cepat. Sapi PO adalah termasuk bangsa Bos Indicus yang berasal dari daerah tropis, terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang panas dan tatalaksana pemeliharaan yang ekstensif, serta termasuk sapi tipe kecil sampai sedang sehingga laju pertumbuhannya rendah sampai sedang. Oleh karena itu, sapi SIMPO dan LIMPO secara genetik akan mewarisi sifat-sifat kedua tetuanya masing-masing sebesar 50%, yaitu diduga dibandingkan dengan sapi PO akan mempunyai potensi laju pertumbuhan lebih cepat tetapi kurang tahan terhadap pengaruh temperatur udara panas dan kondisi pakan terbatas.
Kenyataan di lapang, sapi SIMPO dan LIMPO yang dipelihara di peternak rakyat ada yang menunjukkan performan produksi tidak lebih baik bahkan beberapa kasus justru lebih jelek dibandingkan dengan sapi PO. Performan penotip yang kurang/tidak mencerminkan potensi genotipnya ini, menurut DIWYANTO (2002) diduga karena pengaruh terjadinya genetic-environmental interaction.
Sapi Simpo (Simmental PO)
Keberhasilan IB untuk menghasilkan seekor pedet saat ini cukup bervariasi, tetapi untuk beberapa kawasan telah berhasil dengan baik. Salah satu kunci keberhasilan IB adalah, sapi dipelihara secara intensif dengan cara di kandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam deteksi berahi serta memudahkan petugas untuk melaksanakan IB. Akan tetapi secara umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alam (Subarsono, 2009).
Namun secara komprehensif laporan perihal keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetic sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada. Demikian pula halnya dengan kinerja performans reproduksi sapi persilangan hasil IBpraktis belum banyak dilakukan evaluasinya, kecuali sinyalemen yang disampaikan Putro (2009). Oleh karena itu pelaksanaan IB harus disesuaikan dengan tujuan dan sasaran akhir yang akan dituju, serta dengan memperhatikan adanya interaksi genetika dan lingkungan (genotype environmet interaction, GEI). Apabila IB ditujukan untuk menghasilkan bakalan pada usaha cow-calf operation, maka penggunaan pejantan yang berukuran besar (misalnya: Simental maupun Limousin) hanya dapat dilakukan di daerah yang ketersediaan pakannya memadai.
Peternak menyukai sapi persilangan hasil IB, karena harga jual anak jantan sangat tinggi, sedangkan sekitar 50% hasil IB adalah sapi betina yang dipergunakan sebagai replacement. Dengan kegiatan IB, sapi lokal berubah menjadi sapi tipe besar yang membutuhkan banyak pakan. Pada kondisi sulit pakan, sapi persilangan menjadi kurus, kondisi tubuh buruk, dan berakibat menurunnya kinerja reproduksi, seperti: nilai S/C (sevice per conception) tinggi, jarak beranak panjang, dan rendahnya calf crop. Kondisi ini disertai rendahnya produksi susu dan tingginya kematian pedet. Pada kondisi pemeliharaan yang baik, kinerja reproduksi sapi persilangan tetap baik.
0 comments:
Post a Comment