Sapi Pejantan Unggul |
Banyak penelitian mencatat bahwa terdapat kaitan erat antara kesulitan deteksi estrus dan rendahnya efisiensi reproduksi pada kelompok sapi perah yang menggunakan inseminasi buatan (IB). Kesulitan deteksi estrus pada sapi perah umumnya sebagai akibat gejala estrus yang lemah atau kurang jelas, berupa birahi tenang (sub-estrus atau silent estrus), akibatnya pelaksanaan inseminasi tidak dilakukan tepat waktu dan berakibat kegagalan konsepsi. Sinkronisasi estrus merupakan teknik manipulasi siklus estrus untuk menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada sekolompok hewan secara bersamaan. Teknik ini terbukti efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan, efisiensi deteksi estrus, sehingga dapat diaplikasikan untuk memperbaiki reproduktivitas sapi.Sinkronisasi atau induksi estrus adalah tindakan menimbulkan birahi, diikuti ovulasi fertil pada sekelompok atau individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi atau kebuntingan. Sinkronisasi estrus biasanya menjadi satu paket dengan pelaksanaan IB, baik berdasarkan pengamatan birahi maupun IB terjadwal (timed artificial insemination). Angka konsepsi atau kebuntingan yang optimum merupakan tujuan dari aplikasi sinkronisasi estrus ini.
Pada sapi perah dan sapi potong di Indonesia sebetulnya dapat dilakukan suatu program peningkatan efisiensi reproduksi, dengan tujuan untuk mendapatkan jarak beranak yang optimum 12 – 15 bulan saja. Untuk itu dapat diupayakan skema perkawinan dini segera setelah beranak (early postpartum breeding program). Skema ini dilakukan pada sapi pasca beranak lebih dari 60 hari, dipertahankan BCSnya untuk tetap optimum pasca beranak (3,0 – 3,5), diamati birahinya dengan cermat kemudian dilakukan IB. Namun bagi sapi-sapi yang tidak menunjukkan gejala birahi dengan baik dilakukan sinkronisasi estrus dan IB terjadwal. Program ini akan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi pada sapi perah dan potong milik peternak rakyat di Indonesia. Sinkronisasi estrus sangat feasible (layak) secara ekonomis untuk diaplikasikan pada sapi perah dan potong, walaupun pada ternak milik rakyat dengan manajemen yang masih tradisional.
Teknik sinkronisasi estrus pada sapi baik dengan berbasis penggunaan PGF2 maupun implan progestagen intravagina dapat digunakan untuk perbaikan efisiensi reproduksi sapi perah dan potong pada peternakan rakyat di Indonesia. Inseminasi buatan terjadwal mengikuti sinkronisasi estrus memberikan angka konsepsi yang sama dengan perlakuan pada birahi alami. Biaya yang harus dikeluarkan oleh peternak sapi masih jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian bila tanpa aplikasi teknik ini. Teknik ini sangat layak untuk diaplikasikan ke sapi milik rakyat, karena dapat memberikan peningkatan performan reproduksi serta menghindarkan kerugian lebih lanjut karena masalah subfertilitas maupun infertilitas yang tidak perlu. Performan reproduksi yang dengan sangat nyata dihasilkan dari aplikasi ini, adalah pemendekan jarak beranak, dari beranak tiap 18 – 20 bulan menjadi 12 – 15 bulan.Implementasi teknik sinkronisasi estrus secara luas diharapkan dapat meningkatkan kinerja reproduksi sapi, meningkatkan produktivitas sapi, meningkatkan penghasilan peternak dan membantu program pemerintah dalam swasembada susu dan daging. Aplikasi teknik sinkronisasi estrus dan ovulasi, bila semua persyaratan budidaya sapi optimum, menurut pengalaman pribadi penyusun sebagai praktisi akan dimungkinkan program one cow one calf in one year.
Manfaat dari tindakan sinkronisasi estrus pada sapi ada beberapa, antara lain:
- Optimalisasi dan efisiensi pelaksanaan IB. Dengan teknik ini dimungkinkan pelaksanaan IB secara massal pada suatu waktu tertentu.
- Mengatasi masalah kesulitan pengenalan birahi. Subestrus atau birahi tenang yang umum terjadi pada sapi perah dan potong di Indonesia dapat diatasi dengan teknik sinkronisasi estrus.
- Mengatasi masalah reproduksi tertentu, misalnya anestrus post partum (anestrus pasca beranak).
- Fasilitasi program perkawinan dini pasca beranak (early post partum breeding) pada sapi potong dan perah. Teknik ini dapat digunakan untuk mempercepat birahi kembali pasca beranak, pemendekkan days open (hari-hari kosong) dan pemendekkan jarak beranak.
- Manajemen reproduksi resipien pada pelaksanaan transfer embrio sapi. Dalam program transfer embrio, embrio beku maupun segar (diambil dari sapi donor pada hari ke 7 setelah estrus) ditransfer ke resipien pada fase siklus estrus yang sama. Sinkronisasi estrus biasanya digunakan untuk maksud tersebut.
Pelaksanaan sikronisasi estrus pada sapi membutuhkan persyaratan tertentu untuk mendapatkan hasil yang optimum. Persyaratan tersebut antara lain:
Sapi dalam keadaan tidak bunting. Hal ini sangat penting, karena kalau sampai sapi bunting diberi perlakuan sinkronisasi estrus, akan berakibat keluron atau abortus. Pemeriksaan kebuntingan dan alat reproduksi sebelum perlakuan harus dilakukan secara cermat untuk memastikan bahwa hewan tidak dalam keadaan bunting.
Hewan harus mempunyai kesehatan alat reproduksi yang baik. Adanya peradangan alat reproduksi, endometritis, metritis, vaginitis, akan sangat berpengaruh pada hasil konsepsinya. Pemeriksaan klinis alat reproduksi perlu dilakukan sebelum dilakukan perlakuan sinkronisasi estrus.
Body condition score (BCS) hewan optimum, antara 3,0 – 3,5. Sinkronisasi estrus pada sapi dengan BCS dengan BCS terlalu tinggi 4 juga beresiko rendahnya angka konsepsi.
Khusus untuk sinkronisasi estrus menggunakan prostaglandin F2, hewan harus mempunyai korpus luteum pada salah satu ovariumnya. Pemeriksaan adanya korpus luteum angat diperlukan, mengingat PGF2 mempunyai target organ korpus luteum. Sapi yang bersiklus estrus namun belum mempunyai korpus luteum maka perlakuannya ditunda sampai terbentuk korpus luteum yang berukuran cukup besar.
Sebelum dan setelah perlakuan sinkronisasi estrus, hewan harus diberi pakan yang memadai dalam kualitas dan kuantitasnya, dihindarkan dari stres, karena hal tersebut sangat berpengaruh pada hasil respon hormonal hewan.
Persyaratan tersebut di atas sangat menentukan keberhasilan sinkronisasi estrus dan ovulasi yang fertil, sehingga setelah perlakuan IB akan terjadi ovulasi, fertilisasi dan nidasi, serta menghasilkan kebuntingan maksimum.
Teknik Sinkronisasi estrus
Banyak penelitian mencatat bahwa terdapat kaitan erat antara kesulitan deteksi estrus dan rendahnya efisiensi reproduksi pada kelompok sapi perah yang menggunakan inseminasi buatan (IB). Kesulitan deteksi estrus pada sapi perah umumnya sebagai akibat gejala estrus yang lemah atau kurang jelas, berupa birahi tenang (sub-estrus atau silent estrus), akibatnya pelaksanaan inseminasi tidak dilakukan tepat waktu dan berakibat kegagalan konsepsi.
Sinkronisasi estrus merupakan teknik manipulasi siklus estrus untuk menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada sekolompok hewan secara bersamaan. Teknik ini terbukti efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan, efisiensi deteksi estrus, sehingga dapat diaplikasikan untuk memperbaiki reproduktivitas sapi.
Penggunaan sinkronisasi estrus kini banyak digabungkan dengan inseminasi pada waktu terjadwal (timed artificial insemination, blind artificial insemination), sehingga tidak perlu lagi dilakukan deteksi estrus setelah perlakuan sinkronisasi estrus. Kombinasi sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan pada sapi termasuk peningkatan mutu genetis, efisiensi pelaksanaan inseminasi buatan, adanya kelahiran pedet yang relatif sama umurnya dan meniadakan deteksi estrus. Sinkronisasi estrus telah banyak dikembangkan untuk mengatasi permasalah kesulitan deteksi estrus, sehingga dimungkinkan pelaksanaan IB tepat waktu, pada waktu tertentu.
Sinkronisasi estrus dapat dilakukan dengan 2 metode, pertama dengan pemberian sediaan progesteron untuk meniru kerjaan korpus luteum, kedua dengan prostaglandin F2 untuk melisiskan korpus luteum. Beberapa metode sinkronisasi estrus telah dikembangkan, antara lain dengan penggunaan sediaan progesteron, prostaglandin F2, serta kombinasinya dengan gonadotrophin releasing hormone. Pemberian progesteron berpengaruh menghambat ovulasi, prostaglandin F2 menginduksi regresi korpus luteum, sedangkan GnRH menambah sinergi proses ovulasi.
Metode pertama sinkronisasi estrus dengan pemberian sediaan berbasis progestin. Progestin atau derivat progesteron merupakan sediaan hormon steroid kelamin dan dapat digunakan untuk sinkronisasi estrus pada sapi. Hormon ini bekerja dengan kemampuannya menimbulkan pengaruh umpan-balik negatif ke hipotalamus, sehingga penghentian pemberiaannya akan menyebabkan pembebasan GnRH dari hipotalamus, diikuti dengan pembebasan FSH dan LH dari pituitari anterior, serta terjadilah estrus dan diikuti ovulasi. Sediaan implan progesteron yang kini masih banyak digunakan adalah implan progesteron intravagina controlled internal drug release (CIDR, EazibreedTM, InterAg, Hamilton, New Zealand).
Controlled internal drug release sebagai implan intravagina berisi 1,90 gram progesteron terbukti efektif untuk sinkronisasi estrus pada sapi, tanpa efek samping yang merugikan. Status reproduksi sapi perah yang diinduksi estrus dan ovulasinya dengan implan progesteron intravagina CIDR akan lebih ditingkatkan dengan pemberian senyawa GnRH atau PGF2. Gonadotrophin releasing hormone akan mencegah terjadinya ovulasi tertunda, anovulasi atau korpus luteum yang berumur pendek; sedangkan PGF2 akan melisiskan korpus luteum yang tersisa, sehingga akan lebih meminimumkan kadar progesteron sewaktu implan CIDR dicabut, sebagai akibatnya proses estrus dan ovulasi akan menjadi lebih baik. Implan progestagen memberikan fertilitas terbaik bila diinsersikan selama 7 sampai 10 hari.
Pemberian progestagen lebih dari 14 hari akan menyebabkan sinkronisasi estrus, namun fertilitas yang diinduksi akan sangat menurun. Kenyataan ini ada hubungannya dengan perkembangan folikel persisten, perpanjangan usia folikel dominan dan ovulasi dari oosit yang terlalu tua. Keberhasilan sinkronisasi estrus membutuhkan adanya sinkronisasi perkembangan folikel, untuk menjamin adanya suatu folikel dominan yang sedang tumbuh pada saat pencabutan implan progestagen dan atau saat perlakuan dengan PGF2.
Metode kedua sinkronisasi estrus dengan pemberian sediaan berbasis PGF2. Prostaglandin F2 mempunyai kerjaan melisiskan korpus luteum yang berakibat turunnya kadar progesteron plasma dengan tiba-tiba. Lisisnya korpus luteum diikuti dengan penurunan progesteron yang dihasilkan, akibatnya terjadi pembebasan serentak GnRH dari hipotalamus, diikuti dengan pembebasan FSH dan LH dari pituitari anterior, sehingga terjadilah estrus dan ovulasi. Berbagai metode sinkronisasi estrus dengan menggunakan prostaglandin F2 dikembangkan dengan pesat akhir-akhir ini, diantaranya metode Ov-Synch (PGF2 dikombinasi dengan GnRH), dan modifikasinya seperti Pre-synch, Co-Synch, Heat-Synch, telah banyak dilaporkan.
Hasil fertilitas sinkronisasi estrus berupa angka konsepsi memang cukup tinggi, tidak berbeda dengan hasil konsepsi dari estrus alami. Keberhasilan sinkronisasi estrus pada kelompok sapi sangat tergantung dari penurunan serentak kadar progesteron dalam darah, serta perkembangan dan ovulasi dari folikel ovaria.
Prostaglandin F2 hanya efektif bila ada korpus luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus; sedangkan penurunan progestagen eksogen hanya efektif bila terjadi regresi korpus luteum secara alami atau induksi. Sinkronisasi estrus menggunakan PGF2 sudah memberikan hasil cukup baik, namun masih banyak terjadi variasi dalam dinamika perkembangan folikel ovaria, serta menghasilkan sinkronisasi yang buruk dalam menimbulkan estrus dan ovulasi. Sebagai misal, induksi luteolisis pada saat ada suatu folikel dominan matang akan menimbulkan estrus dalam waktu 2 sampai 3 hari, tetapi butuh waktu lebih lama bila satu folikel masih harus diseleksi dari satu gelombang pertumbuhan folikel baru.
Kebanyakan penelitian sinkronisasi estrus dengan berbasis implan progesteron intravagina pada sapi hanya melaporkan kemampuan suatu agen sinkronisasi untuk menimbulkan estrus dan hasil konsepsinya setelah perlakuan inseminasi buatan, maupun berbasis prostaglandin F2. Dinamika perkembangan folikel ovulasi dan korpus luteum akibat perlakuan sinkronisasi estrus pernah dilaporkan, namun kurang komprehensif.
Teknik sinkronisasi estrus pada sapi baik dengan berbasis penggunaan PGF2 maupun implan progestagen intravagina dapat digunakan untuk perbaikan efisiensi reproduksi sapi perah dan potong pada peternakan rakyat di Indonesia. Inseminasi buatan terjadwal mengikuti sinkronisasi estrus memberikan angka konsepsi yang sama dengan perlakuan pada birahi alami. Biaya yang harus dikeluarkan oleh peternak sapi masih jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian bila tanpa aplikasi teknik ini. Teknik ini sangat layak untuk diaplikasikan ke sapi milik rakyat, karena dapat memberikan peningkatan performan reproduksi serta menghindarkan kerugian lebih lanjut karena masalah subfertilitas maupun infertilitas yang tidak perlu. Performan reproduksi yang dengan sangat nyata dihasilkan dari aplikasi ini, adalah pemendekan jarak beranak, dari beranak tiap 18 – 20 bulan menjadi 12 – 15 bulan.
Referensi
Bartolome, J. A., Silvestre, F. T., Artechte, A. C. M., Kamimura, S., Archbald, L. F. and Thatcher, W. W. 2002. The use of Ovsynch and Heatsynch for re-synchronization of cows open at pregnancy diagnosis by ultrasonography. J. Dairy Sci. 81: 390-342.
Bo, G. A., Cutaia, L., Chesta, P., and Moreno, D. 2004. The use of ECG to increase pregnancy rates in postpartum beef cows following treatment with progesterone vaginal devices and estradiol benzoate and fixed time AI. Reprod. Fertil. Develop. 16 (2): 127.
Cartmill, J. A., El-Zarkouny, S. Z., Hensley, B. A., Lamb, G. C. and Stevenson, J. S. 2001. Stage of cycle, incidence and timing of ovulation and pregnancy rate in dairy cattle after three timed breeding protocols. J. Dairy Sci. 84: 1051-1059.
Cavalieri, J., Coleman, C., Rodrigues, H., Macmillan, K. L. and Fitzpatrick, L. A. 2002. The effect of timing of administration of oestradiol benzoate on characteristics of oestrus, timing of ovulation and fertility of Bos indicus heifers synchronized with a progesterone releasing intravaginal insert. Austral. Vet. J. 80: 217-223.
Cavalieri, J., Hepworth, G., Smart, V. M., Ryan, M. and Macmillan, K. L. 2007. Reproductive performance of lactating dairy cows and heifers synchronized for a second insemination with an intravaginal progesterone-releasing device for 7 or 8 d with estradiol benzoate injected at the time of device insertion and 24 h after removal. Theriogenology 67: 824-834.
Chebel, R. C., Santos, J. E. P., Rutigliano, H. M. and Cerri, R. L. A. 2007. Efficacy of an injection of dinoprost tromethamine when given subcutaneously on luteal regression in lactating Holstein cows. Theriogenology 67: 590-597.
Colazo, M. G., Small, J. A., Ward, D. R., Erickson, N. E., Kastelic, J. P. and Mapletoft, R. J. 2004. The Effect of presynchronization on pregnancy rate to fixed-time AI in beef heifers subjected to a Cosynch protocol. Reprod. Fertil. Develop. 16 (2): 128-130.
Sumber: https://dokterhewanku.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment